Halya
terbangun pukul lima pagi dan mendapati sesosok tubuh tertidur di sampingnya.
Raka. Hasratnya memilih untuk memeluk Raka dan berbagi kehangatan dalam
dinginnya udara Bandung pagi ini. Tapi otaknya yang masih waras memutuskan
untuk tidak melakukannya.
Aku tidak
mencintainya. Bagaimana aku bisa memeluknya? Umm...mungkin kalimat awal tadi
perlu diralat. Aku belum mencintainya.
Sudah
tiga bulan terhitung sejak Raka mengikrarkan janji di depan ayah, mama,
penghulu, teman – teman kantor, dan ratusan tamu yang hadir hari itu. Hari
pernikahan mereka. Setidaknya jika ini masih pantas disebut pernikahan.
Jangankan membayangkan cerita pengantin baru yang romantis, menikah dengan Raka
rasanya masih seperti mimpi bagi Halya. Mereka menikah tanpa cinta. Hanya berbekal
rasa nyaman sebagai teman. Semalam mereka “terpaksa” tidur dalam satu ranjang
karena sudah terlalu lelah untuk berdebat masalah ranjang seperti biasanya jika
mereka menginap di rumah orang tua mereka. Mana mungkin mereka meminta dua
kamar sedangkan seluruh dunia juga tahu kalau mereka sudah resmi sebagai suami
istri. Mami pasti langsung menyiapkan sidang istimewa untuk mereka jika itu
terjadi.