Jumat, 21 Juni 2013

Flashfiction : Rinai


Stasiun malam itu begitu dingin. Kereta terakhir akan membawanya pergi dari hadapanku.
“Din, senyum dong, masa dari tadi tegang begitu wajahnya. Cantikmu hilang kalau begitu terus.”
Sedikit memaksakan diri aku mencoba tersenyum untuknya.
Ia meraih kedua tanganku dan menatapku dalam.
“Din, aku janji kali ini akan cepat pulang. Ini tugas terakhirku. Setelah itu aku bisa tetap tinggal di sini menemanimu.”
Entah mengapa aku masih berat untuk melepasnya pergi.

Rinai hujan mulai datang. Air dari langit itu jatuh mengobati haus kerinduan tanah akan hadirnya.
Kapan kamu pulang? Aku sudah bosan menikmati rinai ini sendiri. Aku rindu ketika tanganmu merengkuhku dari belakang untuk melawan dingin ini. Aku rindu semua cerita yang terangkai di saat-saat seperti ini. Dan ada hal penting yang perlu kamu ketahui. Aku ingin menunjukkan ini kepadamu. Kamu pasti sangat bahagia melihat ini. Sebuah test pack dengan hasil positif.

Aku sudah tidak sabar menyambut hari ini. Hari ini adalah hari kepulanganmu. Langit mulai mendung, sepertinya akan hujan. Aku berdoa agar hujan kali ini tidak deras. Kasihan kamu jika harus pulang dalam keadaan basah kuyup. Berkali – kali aku melihat jam tangan pemberianmu yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Kenapa lama sekali. Rasanya waktu sengaja berjalan lambat agar aku tak lekas bertemu denganmu. Hampir saja aku melompat dari kursi begitu mendengar pintu diketuk. Dengan memasang senyum bahagia aku berlari menuju pintu. Akhirnya kamu pulang…

Aku kembali menikmati rinai ini sendiri. Aku menatap nanar tetesan air yang jatuh dari langit lalu melesap ke tanah. Aku mengusap perutku yang mulai membesar. Aku merasakan tendangan kecil darinya. “Nak, bunda minta maaf karena belum bisa memberitahu ayah akan kehadiranmu. Tapi bunda yakin malaikat sudah memberitahu ayah kalau kamu nanti yang akan menjaga bunda.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar