Rabu, 21 Maret 2012

Sinopsis : Kidung Cinta Puisi Pegon

 
-->
Kia tidak tahu bagaimana harus bersikap, bagaimana harus bertindak. Sudah lama rasa itu ada dan selalu ditepisnya demi kepatuhannya pada peraturan pesantren. Walau pertemuan-pertemuan dengan Haidar selalu terjadi tanpa direncanakan. Perpustakaan kampus menjadi saksi bisu bagaimana mereka seperti berencana bertemu di tempat itu. Puisi-puisi dengan huruf pegon (tulisan arab berbunyi Bahasa Jawa. Biasanya diapakai untuk memaknai kitab-kitab di pondok pesantren) di mading yang bercerita tentang rasa yang tak mungkin terungkap itu. Puisi-puisi tersebut berbicara menyuarakan suara hati Husna Adzkia dan Ahmad Haidar Ali. Memang tidakmudah bagi Kia untuk mengubur semuanya, ketaatannya, komitmennya terhadap ajaran agamanya, serta tugasnya sebagai salah satu keamanan pondok, apa yang dikatakan para santri jika keamanan yang harusnya menertibkan mereka dengan urusan ikhtilat (campur baur antara wanita dan laki-laki) malah asyik cinta-cintaan? Dan lagi, Kia dan Haidar kuliah di tempat yang sama di salah satu universitas di kota yang sama, Yogyakarta. Ditambah lagi mereka satu pesantren, hanya berbeda tempat, pesantren putra dan putri. Bagaimana bisa menghindar? Dari buku milik Haidar yang dipinjamnya dia menemukan secarik kertas berisi puisi dan beberapa tulisan Haidar yang mewakili perasaannya. Kia hanya membalasnya dengan kata-kata singkat yang diambilnya dari sebuah buku. Buku milik Haidar itu pun tidak dikembalikannya secara langsung kepada empunya karena Tiya,temannya yang sekaligus sepupu Haidar memaksa untuk diberikan ke dia dulu untuk dikembalikan ke Haidar. Di buku itulah Kia menyisipkan jawabannya atas surat dari Haidar yang juga disisipkan di dalam lembaran-lembaran buku tersebut.
Semenjak dilantik menjadi salah satu anggota seksi keamanan, Kia mulai dapat sedikit menguasai perasaannya. Bukan menghilangkannya. Hanya sedikit melupakannya karena dia sudah tidak lagi menjadi kru mading pesantren berkat amanahnya sebagai anggota keamanan. Adzkia juga sudah tidak menemukan lagi puisi-puisi pegon dari mading pondok putra karya Haidar. Begitu juga dengannya yang sudah tidak lagi menciptakan puisi pegon untuk mading pondok putri yang dipasang di pondok putra. Di kampus pun Kia juga sudah tidak lagi menemukan kelebat Haidar. Bahkan saat acara wisuda santri di pondok. Sampai suatu hari ibu (pengasuh pondok) memanggilnya dan mengatakan ada seorang Gus (putra seorang kyai) yang ingin meminangnya. Kia belum bisa menjawabnya dan meminta waktu untu itu. Dia sebenarnya sudah pernah bertemu dengan Gus Luthfi itu sewaktu dia dulu terjatuh ketika mengendarai sepeda motor sepulang mengantar ibu dan tersesat menemukan jalan kembali ke pondok, Gus Luthfi lah yang menolongnya. Dan ternyata Gus Luthfi adalah teman kakaknya kuliah sewaktu di Kairo. Di saat yang hampir bersamaan Kia menemukan kenyataan bahwa ternyata Haidar berpacaran dengan Tiya. Menangis tentu dilakukannya karena bagaimanapun juga Kia adalah wanita yang lebih menggunakan perasaan daripada rasio. Suatu pagi sebuah panggilan dari pengeras suara membawa seorang Haidar kehadapannya. Memberinya sebuah agenda berisi puisi-puisinya sebagai hadiah perpisahan karena Haidar akan pindah pondok. Entah karena sudah tidak betah atau ketahuan keamanan pondoknya gara-gara pacaran dan dikeluarkan karena Kia melihat kepala Haidar yang sudah plontos. Makhluk yang telah melukainya itu juga mengucapkan selamat atas rencana pernikahannya dengan Gus Luthfi.
Akhir cerita dalam hidup kita memang tidak mudah ditebak. Tidak ada yang tahu akan berakhir seperti apa kisah kita. Hanya Dia, sang sutradara yang tahu akhir kisah kita. Kita mengira dia yang selama ini ada di hati kita belum tentu akan benar-benar di hati kita sepanjang hidup. Karena cinta terhadap manusia begitu mudah tumbuh. Seperti Husna Adzkia yang tidak pernah menyangka akan mendampingi seorang Gus yang memiliki pondok pesantren dan akan mendapat amanah sebagai Bu Nyai.
Jika karena cinta orang bisa berpuisi
Dan jika cinta bisa terkirim lewat puisi
Dan jika ada cinta karena puisi
Bukankah puisi Tuhan lebih suci
Syair-syair kalamullah paling indah
Maka bagaimana mungkin cintamu tidak bertambah
Maka apakah kamu tidak melihat cinta-Nya yang mahabesar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar