Judul :
Berjalan di Atas Cahaya
Author :
Hanum Salsabiela Rais, dkk
Genre :
Nonfiksi/Inspirasional
Cetakan I :
Maret 2013
Cetakan II :
April 2013
Publisher :
PT Gramedia Pustaka Utama
“Sulit sekali mencari
anak muda yang tertarik mewarisi seni bela diri yang sarat napas Islam ini.
Kalaupun ada, pasti banyak yang mengeluh, tidak seantusias saat Twitter-an.
Kalau anak kita nanti cowok, pasti kuajari silat!”
“Ada 9 jurus dasar
dalam silat yang harus dihafal. Otomatis 9 ayat hafalan shalatku jadi di luar
kepala. Lihat nih!”
“Sudah, Ayah…sudah! Hentikan! Aku bisa melahirkan, nih!”
Susah payah saya menghentikan tingkah polah suami saya yang sedang
memamerkan kemampuan silatnya. Kedua tangan saya gunakan untuk menyanggah perut
yang menyundul keluar, berusaha menyeimbangkan badan yang terkekeh sementara
kaki masuk beberapa senti ke pasir pantai Costa del Sol Andalusia, Spanyol nan
elok.
Sebelumnya
saya mau mengucapkan terima kasih kepada kawan saya, Zuhrufi Latifah yang telah mengompori buat baca buku ini. Danke, Zuhrufi *sok pake bahasa Jerman -_-. Kalau tidak karenamu
yang heboh nyuruh baca saya tidak akan mendapat kisah semenarik buku ini. Well, buku ini mengupas catatan perjalan Mbak Hanum Rais, Tutie
Amaliah, dan Wardatul Ula selama perjalanan di Eropa. Benua yang mempunyai
sikap dingin kepada Islam. Hubungan keduanya dipenuhi prasangka, berbeda jika
kita menengok masa lalu. Siapa sangka Islam pernah berjaya dan menerangi Eropa
dengan cahayanya. Hubungan Islam – Eropa lebih lengkap ada di buku “99 Cahaya
di Langit Eropa”. Bisa dibuka dan dilihat coretannya Zuhrufi tentang buku
tersebut di sini. Saya memang belum mengulasnya, memang dasar malas *hehehe. Padahal
yang punya buku tersebut saya sendiri. Janji deh, nanti bakal saya baca lagi
dan bikin review. Soalnya dulu waktu
beli juga bacanya agak terburu - buru dan tidak benar – benar saya nikmati,
keburu dikumpulkan untuk tugas bahasa Indonesia resensinya.
Walau tidak
pernah benar – benar menginjakkan kaki di Eropa, membaca buku ini rasanya cukup
untuk mengajak pikiran saya terbang ke sana. Tahu sendiri dari dulu mupeng ke Eropa :D. Menikmati peninggalan Islam yang
–mungkin- tak banyak yang tahu. Bagaimana masjid berubah fungsi menjadi gereja,
atau sebaliknya, dan tetap mempertahankan arsitektur asli. Pasti heran rasanya
melihat gereja dengan ukiran lafadz Allah dan Muhammad. Yang lebih parah,
masjid hampir saja berubah fungsi menjadi bengkel. Tidak terbayang bagaimana
rumah Allah akan kotor oleh cipratan oli dan bau bengkel. Sebagian kisah
sepertinya pernah saya tonton di televisi ramadhan tahun kemarin. Karena Mbak
Hanum sendiri memang sebagian kisah dibuat waktu bertugas meliput tentang Islam
di Eropa.
Semakin dalam
saya membaca semakin menarik. Bagaimana sosok Indonesia di mata orang Eropa?
“Indonesia yang punya Bali dan pernah diteror terorisme itu?” . Begitulah
pandangan orang sana tentang nama Indonesia. Agak tercubit rasanya mengetahui
Negara kita terkenal akan bom. Hidup sebagai seorang muslim di Eropa memang
agak susah. Apalagi jika berjilbab. Seakan orang berjilbab langsung dimasukkan
kotak “NOT RECOMMENDED” dalam berkas aplikasi awal melamar pekerjaan.
Perusahaan yang masih mempermasalahkan penggunaan jilbab pasti perusahaan yang
tidak kredibel. Penilaian seseorang itu berdasarkan performa kerja, bukan
kedekatan atau penampakan saja. Saya memang agak sedikit sensitif jika membahas
masalah jilbab dan penggunaannya dalam pekerjaan. So What? Any problems with yourself If I wear this? Memang sangat
disayangkan ketika perempuan berjilbab –apalagi bercadar- harus melewati
pemeriksaan yang lebih ketat, lebih lama, lebih rumit, diinterogasi lebih lama
dengan petugas berwajah kereng dan
terkesan dipersulit dibanding yang lain ketika tiba di airport hanya karena sehelai kain penutup tempurung kepala ini. Oh God, haruskah mereka yang berjilbab
menempelkan kertas di dahi mereka bertuliskan besar – besar “I’m not
terrorist”? Dari Nur Dann, seorang rapper berjilbab di Wina, Austria, “Jilbab
itu ya kayak kalian pakai topi rap dimiringkan. Bisa nyaman kalau pakai itu
saat nge-rap. Saya bilang, kalau pakai jilbab, saya baru bisa merasa nyaman.”
Agak sebal juga dengan sebagian opini tentang jilbab sebagai simbol kekolotan
muslimah, ekslusivitas, rigid, tidak maju, atau tertolak masyarakat Eropa.
Apalagi jika opini itu berasal dari saudara sesama muslim. Tidakkah mereka tahu
bahwa berhijab itu “WAJIB” untuk perempuan muslim, dan bukan anjuran. Al quran
sudah menjelaskannya kok. #agak emosi -_- . Saya memang harus banyak belajar
untuk menjadi agen muslim yang baik. Tidak dengan marah – marah atau emosi,
tapi dengan cinta dan kasih sayang. Pembuktian bagaimana wajah Islam sebenarnya
yang penuh rahmatan lil alamin
ini.Saya mengatakan itu semua bukan karena saya muslim dan -kebetulan-
berhijab. Sebelum memutuskan menutup aurat, saya sudah kagum dengan putusan
hidup mereka yang membungkus tubuhnya dengan pakaian longgar dan jilbab
panjang, apalagi mereka yang bercadar. Walaupun saya tidak bisa seperti mereka.
Bagi saya, yang penting saya nyaman dengan yang saya kenakan, tidak transparan,
tidak ketat. Saya punya cara sendiri untuk mengatakan kebenaran kalamNya. Tidak
bisa dipaksa untuk harus memakai rok dan “haram” memakai celana ketika keluar
rumah. Semua sudah saya renungkan berdasarkan ayat yang saya pahami.
Ada orang
Eropa yang merasa tentram karena suara adzan. Sylvia, perempuan berkebangsaan
Spanyol –non muslim-, bahkan pernah sampai 10 bulan mendalami pencak silat di
Minangkabau yang sarat akan napas Islam. “Tinggal berbulan – bulan di ranah
Minang mempelajari pencak silat menggeser pengertianku akan Islam yang majemuk.
Aku tahu banyak orang Muslim yang baik. Awalnya azan pukul 5 pagi sangat
mengganggu bagi Sylvia. Di Wina saja, orang akan protes jika lonceng gereja
dibunyikan terlalu nyaring, padahal itu pukul tujuh pagi. Lama – lama aku
menikmatinya. Azan berbeda dengan bel, lantunannya menyejukkan.” Banyak
persepsi orang Eropa yang salah kaprah tentang Islam. Namun cukup banyak yang
kagum dan diam – diam memeluknya. Masih sangat sulit untuk terang – terangan
berikrar bahwa dirinya muslim. Akan ada banyak penolakan untuknya. Banyak orang
Eropa yang kagum karena mengetahui sendiri bagaimana ajaran Islam sebenarnya.
Banyak juga mereka yang notabene non muslim, tapi sangat open kepada muslim. Opini buruk tentang Islam perlahan akan luntur
seiring banyaknya muslim yang menjadi agen mus;lim yang baik. Memang, tak hanya
dengan muslim kita bersaudara. Kita juga bersaudara dengan mereka yang tak
seiman dengan kita. Tak jarang, merekalah yang dikirim Allah SWT untuk membantu
mempermudah titian jalan kita.
Andai semua
orang Eropa yang antipasti Islam itu tahu dan sadar bahwa Islam dulu pernah
memeluk mereka dalam cahaya yang damai, dahulu. Tapi, gambaran muslim menakutkan
memang sudah tercetak dan menjadi makanan sehari – hari bagi Eropa. Yang saya
sedihkan, sebagian saudara muslim juga belum berhasil menjadi agen muslim yang
baik. Seharusnya kita bisa menunjukkan bahwa kita punya cara damai, bukan
berteriak jihad tapi malah merusak tak tentu arah. Kadang – kadang malah salah
bidik. Tidak enak sekali mendengar Islam diplesetkan menjadi His-slam
(pukulannya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar