Halya
terbangun pukul lima pagi dan mendapati sesosok tubuh tertidur di sampingnya.
Raka. Hasratnya memilih untuk memeluk Raka dan berbagi kehangatan dalam
dinginnya udara Bandung pagi ini. Tapi otaknya yang masih waras memutuskan
untuk tidak melakukannya.
Aku tidak
mencintainya. Bagaimana aku bisa memeluknya? Umm...mungkin kalimat awal tadi
perlu diralat. Aku belum mencintainya.
Sudah
tiga bulan terhitung sejak Raka mengikrarkan janji di depan ayah, mama,
penghulu, teman – teman kantor, dan ratusan tamu yang hadir hari itu. Hari
pernikahan mereka. Setidaknya jika ini masih pantas disebut pernikahan.
Jangankan membayangkan cerita pengantin baru yang romantis, menikah dengan Raka
rasanya masih seperti mimpi bagi Halya. Mereka menikah tanpa cinta. Hanya berbekal
rasa nyaman sebagai teman. Semalam mereka “terpaksa” tidur dalam satu ranjang
karena sudah terlalu lelah untuk berdebat masalah ranjang seperti biasanya jika
mereka menginap di rumah orang tua mereka. Mana mungkin mereka meminta dua
kamar sedangkan seluruh dunia juga tahu kalau mereka sudah resmi sebagai suami
istri. Mami pasti langsung menyiapkan sidang istimewa untuk mereka jika itu
terjadi.
Akhir
pekan yang biasanya sangat ditunggu oleh officer
sibuk seperti Halya dan Raka akhir – akhir ini berubah menjadi sesuatu yang
diharapkan cepat berlalu. Mereka harus berpura – pura layaknya pasangan suami
istri yang normal, harus tidur satu kamar, belum lagi kerepotan yang disebabkan
pertanyaan - pertanyaan yang intinya sama dari mamanya Halya atau maminya Raka.
Ah, ibu – ibu ini rasanya sudah seperti sales - sales di mall yang ribut
mengejar pengunjung untuk menawarkan dagangannya. Bedanya mereka ribut
menanyakan isi perut Halya, apa sudah ada calon cucu mereka di dalamnya.
Halya
merasa sesosok tubuh di sampingnya menggeliat.
“Oaahm...
Udah jam berapa ini Al?”
“Lihat
aja sendiri. Tuh, di sampingmu juga ada jam”, Halya menjawab pertanyaan Raka
dengan tampang sebal.
“Galak
amat sih kamu? Masih pagi gini udah galak aja”, Raka menimpali dengan suara
menggoda.
“Eh,
kamu pernah denger nggak Al. Kata orang, kecantikan asli wanita itu terlihat
ketika dia baru bangun tidur. Ya kayak kamu gini. Hahaha...”, Raka menambahkan.
“Bilang
aja kamu seneng bisa tidur sama aku tadi malam!”, Halya masih bersungut –
sungut.
“Tapi
kamu beneran cantik Al”, gumam Raka hampir tidak terdengar.
“Barusan
kamu bilang apa, Ka?”. Halya tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Bukan
apa – apa kok”, Raka hanya tersenyum.
Hening.
Mereka
sama sekali tidak bermaksud mempermainkan ikatan sakral ini. Usia sudah kepala
tiga dan tidak ada tanda – tanda mereka sedang menjalin hubungan serius dengan
siapa pun membuat keluarga mereka menyiapkan perjodohan konyol yang berlanjut
pernikahan konyol pula.
Halya
dan Raka, sahabat selamanya. Saling mengerti satu sama lain. Termasuk sangat
mengerti kepada siapa masing – masing dari mereka menambatkan hati.
“Al...?”
“Iya,
Ka?”
“Kamu
nyesel ya udah nikah sama aku?”, hati – hati Raka melontarkan pertanyaan.
“Kamu
sendiri gimana, Ka?”
“Nggak
tau. Hehe...”, jawab Raka dengan senyum getir.
“Kebiasaan
deh kamu itu. Kalau ditanya selalu jawabnya nggak tau”
“Lha
kamu sendiri juga kebiasaan. Kalau ditanya mesti balik nanya”
“Raka
nyebelin, ih...”, Halya menjawab sambil melempar bantal ke arah Raka.
***
Seandainya kamu
tahu, Al. Sewaktu aku memutuskan untuk menikah denganmu aku sudah berjanji pada
diriku bahwa aku akan berusaha mencintaimu secepatnya. Meskipun bayangan Rina
masih bias tersamar, tapi aku yakin kamu mampu menghilangkan bias itu. Please
Al, bantu aku untuk membuang bayangan Rina dan menggantikannya dengan sosokmu
sepenuhnya.
Seandainya kamu
tahu, Ka. Sewaktu aku memutuskan menerima pinanganmu, bukan hanya karena aku
percaya kamu bisa menjadi imam yang baik untukku. Hanya denganmu aku merasa
nyaman melebihi seorang kawan. Meski aku belum yakin untuk mengatakan itu
sebuah rasa. Tahukah kamu, Ilham masih ada di sini, Ka. Aku tahu, aku mungkin
berdosa sama kamu karena masih menyimpannya di usia pernikahan kita yang sudah
menginjak bulan ketiga ini. Tapi aku perlu waktu untuk benar – benar
mencintaimu.
***
Di
sebuah coffe shop yang cukup sesak karena jam makan siang, sesekali dia melirik
jam tangan. Mulai resah karena yang ditunggu tak kunjung datang. Beberapa menit
kemudian sesosok perempuan datang dan duduk dengan tenang di hadapannya. Dengan
pulasan make up tipis yang tetap memancarkan kecantikan natural. Rambutnya yang
tergerai sebahu agak bergelombang di ujungnya. Dan sebuah penjepit mungil
menjadi hiasan sederhana di kepala. Di matanya Halya masih sama seperti lima
tahun yang lalu. Bedanya sekarang terlihat lebih dewasa dan anggun berkat
pakaian. Atasan blazer coklat muda dipadu rok selutut berwarna senada. Khas
wanita kantoran.
“Sorry,
telat. Tahu sendiri Jakarta macetnya kayak apa jam – jam segini”
“Iya,
nggak apa – apa kok, Ay. Aku juga baru sampai”
Aya.
Panggilan khususnya untuk Halya.
“Oya,
aku sudah pesankan satu cangkir kopi tanpa gula untukmu Ay”
“Wah,
kamu ternyata masih ingat apa yang biasanya aku pesan ya, Ham”, jawab Halya
sambil terkekeh.
Ilham
hanya menunduk dan tersenyum. Aku tidak
pernah sedikit pun lupa tentangmu, Ay.
“Ay...?”
“Iya,
Ham?”
“Selamat
ya, atas pernikahan kalian. Maaf waktu itu nggak bisa datang. Aku belum pulang
ke Indonesia”
“Iya,
nggak apa – apa kok, Ham. Aku maklum sama orang sibuk kayak kamu. Hahaha... Ini
kan juga pertama kali kita ketemu lagi setelah kamu menghilang tanpa kabar lima
tahun lalu”, suara Halya sedikit tercekat dengan kalimat terakhirnya.
“Maafkan
aku Ay.....”
“Tidak
ada yang perlu dimaafkan, Ham. Seharusnya aku yang minta maaf karena tidak bisa
menunggu lebih lama”
“Iya,
aku ngerti bagaimana perasaanmu, Ay. Sebagai wanita pasti berat menghadapi
pertanyaan tentang pernikahan di usiamu sekarang”
“Kamu
nggak akan pernah ngerti bagaimana perasaanku, Ham”, suara Halya berubah
dingin.
“Mungkin
aku saja yang keterlaluan dan tidak peka terhadapmu, Ay. Aku pikir kamu
menyimpan hal yang sama sepertiku”
“Aku
memang menyimpan hal yang sama sepertimu. Tapi kenapa dulu kamu tiba – tiba
menghilang tanpa meninggalkan kejelasan tentang kita? Lalu kenapa sekarang tiba
– tiba kamu muncul kembali?”, ada sedikit emosi dalam nada suara Halya.
“Dan
ketika aku kembali semuanya sudah terlambat”, Ilham tersenyum pahit.
Seorang
pegawai coffe shop mengalihkan perhatian mereka. Pesanan datang.
“Ay...
Boleh aku bertanya sesuatu?”
Halya
hanya mengangguk pelan.
“Apa
kamu benar – benar mencintainya?”, Ilham bertanya sambil melirik jari manis
Halya yang sudah terselip sebuah cincin.
***
Raka
masih tertegun mendapati sosok itu. Rina.
Seketika
otaknya memutar kembali semua memori masa lalu. Merefleksikan perasaan bahagia
yang tiba – tiba meluap. Beberapa tahun silam mereka sempat terjebak dalam
romantisme yang membingungkan.
“Raka?”
“Kamu,
Rina, kan?”
“Iya.
Bagaimana kabarmu, Ka? Aku dengar kamu sudah menikah dengan sahabatmu itu ya,.
Siapa namanya... aku lupa”
“Halya”,
Raka menyebut nama istrinya dengan datar.
“Ah
ya, Halya. Maaf, aku lupa. Sorry, kemarin waktu kalian menikah aku nggak datang.
Aku masih harus mengurus surat ke Pengadilan Agama”
“Pengadilan
Agama? Memangnya siapa yang mau bercerai, Rin?”
“Aku,
Ka”, ada sedikit kecewa dalam nada suara Rina.
“Maaf
Rin... aku nggak tahu”
“Iya,
nggak apa kok, Ka”, Rina mencoba tersenyum
“Maafkan
aku, Ka...”
“Maaf
untuk apa, Rin?”
“Karena
sudah mengecewakan dan menyakitimu”
“Sudahlah,
Rin. Mungkin ini memang yang terbaik untuk kita. Tidak ada yang salah di antara
kita. Aku mengerti bagaimana perasaanmu waktu itu. Kamu sudah memilih jalan
yang benar dengan menunjukkan baktimu kepada orang tuamu”
“Dengan
jalan menyiksa diriku sendiri karena menikah dengan orang yang sama sekali
tidak aku cintai?”, potong Rina cepat.
“Kenapa
waktu itu kamu tidak mencegahku, Ka? Kenapa kamu waktu itu diam saja dan membiarkanku
dimiliki orang lain?”
Wanita
yang pernah pergi dari kehidupannya itu kembali pulang. Menawarkan cinta yang
ternyata tidak pernah hilang.
***
Masa
lalu terkadang memang seperti bumerang. Ia melesat pergi, lalu kembali.
Love
is faith and destiny. Itu lah mengapa kita tidak bisa meminta Tuhan untuk
dijatuh-cintakan kepada siapa.
What
does love mean? It means, you’re happy to see someone you love happy. Biarkan
kita belajar bahwa cinta adalah ikhlas melepas demi kebahagiaan orang yang kita
cintai.
Jalan
kita awalnya memang berbeda. Walau beriringan, kita tidak pernah berputar dalam
orbit yang sama. Tapi aku tahu, Tuhan tidak akan mempertemukan kita dengan
seseorang tanpa ada suatu rencana di baliknya. Rencana yang indah dan terbaik
dari kaca mata-Nya tentu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar