Senin, 09 Desember 2013

Bab 5



Halya terbangun pukul lima pagi dan mendapati sesosok tubuh tertidur di sampingnya. Raka. Hasratnya memilih untuk memeluk Raka dan berbagi kehangatan dalam dinginnya udara Bandung pagi ini. Tapi otaknya yang masih waras memutuskan untuk tidak melakukannya.
Aku tidak mencintainya. Bagaimana aku bisa memeluknya? Umm...mungkin kalimat awal tadi perlu diralat. Aku belum mencintainya.
Sudah tiga bulan terhitung sejak Raka mengikrarkan janji di depan ayah, mama, penghulu, teman – teman kantor, dan ratusan tamu yang hadir hari itu. Hari pernikahan mereka. Setidaknya jika ini masih pantas disebut pernikahan. Jangankan membayangkan cerita pengantin baru yang romantis, menikah dengan Raka rasanya masih seperti mimpi bagi Halya. Mereka menikah tanpa cinta. Hanya berbekal rasa nyaman sebagai teman. Semalam mereka “terpaksa” tidur dalam satu ranjang karena sudah terlalu lelah untuk berdebat masalah ranjang seperti biasanya jika mereka menginap di rumah orang tua mereka. Mana mungkin mereka meminta dua kamar sedangkan seluruh dunia juga tahu kalau mereka sudah resmi sebagai suami istri. Mami pasti langsung menyiapkan sidang istimewa untuk mereka jika itu terjadi.

Akhir pekan yang biasanya sangat ditunggu oleh officer sibuk seperti Halya dan Raka akhir – akhir ini berubah menjadi sesuatu yang diharapkan cepat berlalu. Mereka harus berpura – pura layaknya pasangan suami istri yang normal, harus tidur satu kamar, belum lagi kerepotan yang disebabkan pertanyaan - pertanyaan yang intinya sama dari mamanya Halya atau maminya Raka. Ah, ibu – ibu ini rasanya sudah seperti sales - sales di mall yang ribut mengejar pengunjung untuk menawarkan dagangannya. Bedanya mereka ribut menanyakan isi perut Halya, apa sudah ada calon cucu mereka di dalamnya.
Halya merasa sesosok tubuh di sampingnya menggeliat.
“Oaahm... Udah jam berapa ini Al?”
“Lihat aja sendiri. Tuh, di sampingmu juga ada jam”, Halya menjawab pertanyaan Raka dengan tampang sebal.
“Galak amat sih kamu? Masih pagi gini udah galak aja”, Raka menimpali dengan suara menggoda.
“Eh, kamu pernah denger nggak Al. Kata orang, kecantikan asli wanita itu terlihat ketika dia baru bangun tidur. Ya kayak kamu gini. Hahaha...”, Raka menambahkan.
“Bilang aja kamu seneng bisa tidur sama aku tadi malam!”, Halya masih bersungut – sungut.
“Tapi kamu beneran cantik Al”, gumam Raka hampir tidak terdengar.
“Barusan kamu bilang apa, Ka?”. Halya tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Bukan apa – apa kok”, Raka hanya tersenyum.
Hening.
Mereka sama sekali tidak bermaksud mempermainkan ikatan sakral ini. Usia sudah kepala tiga dan tidak ada tanda – tanda mereka sedang menjalin hubungan serius dengan siapa pun membuat keluarga mereka menyiapkan perjodohan konyol yang berlanjut pernikahan konyol pula.
Halya dan Raka, sahabat selamanya. Saling mengerti satu sama lain. Termasuk sangat mengerti kepada siapa masing – masing dari mereka menambatkan hati.
“Al...?”
“Iya, Ka?”
“Kamu nyesel ya udah nikah sama aku?”, hati – hati Raka melontarkan pertanyaan.
“Kamu sendiri gimana, Ka?”
“Nggak tau. Hehe...”, jawab Raka dengan senyum getir.
“Kebiasaan deh kamu itu. Kalau ditanya selalu jawabnya nggak tau”
“Lha kamu sendiri juga kebiasaan. Kalau ditanya mesti balik nanya”
“Raka nyebelin, ih...”, Halya menjawab sambil melempar bantal ke arah Raka.
 ***
Seandainya kamu tahu, Al. Sewaktu aku memutuskan untuk menikah denganmu aku sudah berjanji pada diriku bahwa aku akan berusaha mencintaimu secepatnya. Meskipun bayangan Rina masih bias tersamar, tapi aku yakin kamu mampu menghilangkan bias itu. Please Al, bantu aku untuk membuang bayangan Rina dan menggantikannya dengan sosokmu sepenuhnya.

Seandainya kamu tahu, Ka. Sewaktu aku memutuskan menerima pinanganmu, bukan hanya karena aku percaya kamu bisa menjadi imam yang baik untukku. Hanya denganmu aku merasa nyaman melebihi seorang kawan. Meski aku belum yakin untuk mengatakan itu sebuah rasa. Tahukah kamu, Ilham masih ada di sini, Ka. Aku tahu, aku mungkin berdosa sama kamu karena masih menyimpannya di usia pernikahan kita yang sudah menginjak bulan ketiga ini. Tapi aku perlu waktu untuk benar – benar mencintaimu.
***
Di sebuah coffe shop yang cukup sesak karena jam makan siang, sesekali dia melirik jam tangan. Mulai resah karena yang ditunggu tak kunjung datang. Beberapa menit kemudian sesosok perempuan datang dan duduk dengan tenang di hadapannya. Dengan pulasan make up tipis yang tetap memancarkan kecantikan natural. Rambutnya yang tergerai sebahu agak bergelombang di ujungnya. Dan sebuah penjepit mungil menjadi hiasan sederhana di kepala. Di matanya Halya masih sama seperti lima tahun yang lalu. Bedanya sekarang terlihat lebih dewasa dan anggun berkat pakaian. Atasan blazer coklat muda dipadu rok selutut berwarna senada. Khas wanita kantoran.
“Sorry, telat. Tahu sendiri Jakarta macetnya kayak apa jam – jam segini”
“Iya, nggak apa – apa kok, Ay. Aku juga baru sampai”
Aya. Panggilan khususnya untuk Halya.
“Oya, aku sudah pesankan satu cangkir kopi tanpa gula untukmu Ay”
“Wah, kamu ternyata masih ingat apa yang biasanya aku pesan ya, Ham”, jawab Halya sambil terkekeh.
Ilham hanya menunduk dan tersenyum. Aku tidak pernah sedikit pun lupa tentangmu, Ay.
“Ay...?”
“Iya, Ham?”
“Selamat ya, atas pernikahan kalian. Maaf waktu itu nggak bisa datang. Aku belum pulang ke Indonesia”
“Iya, nggak apa – apa kok, Ham. Aku maklum sama orang sibuk kayak kamu. Hahaha... Ini kan juga pertama kali kita ketemu lagi setelah kamu menghilang tanpa kabar lima tahun lalu”, suara Halya sedikit tercekat dengan kalimat terakhirnya.
“Maafkan aku Ay.....”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ham. Seharusnya aku yang minta maaf karena tidak bisa menunggu lebih lama”
“Iya, aku ngerti bagaimana perasaanmu, Ay. Sebagai wanita pasti berat menghadapi pertanyaan tentang pernikahan di usiamu sekarang”
“Kamu nggak akan pernah ngerti bagaimana perasaanku, Ham”, suara Halya berubah dingin.
“Mungkin aku saja yang keterlaluan dan tidak peka terhadapmu, Ay. Aku pikir kamu menyimpan hal yang sama sepertiku”
“Aku memang menyimpan hal yang sama sepertimu. Tapi kenapa dulu kamu tiba – tiba menghilang tanpa meninggalkan kejelasan tentang kita? Lalu kenapa sekarang tiba – tiba kamu muncul kembali?”, ada sedikit emosi dalam nada suara Halya.
“Dan ketika aku kembali semuanya sudah terlambat”, Ilham tersenyum pahit.
Seorang pegawai coffe shop mengalihkan perhatian mereka. Pesanan datang.
“Ay... Boleh aku bertanya sesuatu?”
Halya hanya mengangguk pelan.
“Apa kamu benar – benar mencintainya?”, Ilham bertanya sambil melirik jari manis Halya yang sudah terselip sebuah cincin.
***
Raka masih tertegun mendapati sosok itu. Rina.
Seketika otaknya memutar kembali semua memori masa lalu. Merefleksikan perasaan bahagia yang tiba – tiba meluap. Beberapa tahun silam mereka sempat terjebak dalam romantisme yang membingungkan.
“Raka?”
“Kamu, Rina, kan?”
“Iya. Bagaimana kabarmu, Ka? Aku dengar kamu sudah menikah dengan sahabatmu itu ya,. Siapa namanya... aku lupa”
“Halya”, Raka menyebut nama istrinya dengan datar.
“Ah ya, Halya. Maaf, aku lupa. Sorry, kemarin waktu kalian menikah aku nggak datang. Aku masih harus mengurus surat ke Pengadilan Agama”
“Pengadilan Agama? Memangnya siapa yang mau bercerai, Rin?”
“Aku, Ka”, ada sedikit kecewa dalam nada suara Rina.
“Maaf Rin... aku nggak tahu”
“Iya, nggak apa kok, Ka”, Rina mencoba tersenyum
“Maafkan aku, Ka...”
“Maaf untuk apa, Rin?”
“Karena sudah mengecewakan dan menyakitimu”
“Sudahlah, Rin. Mungkin ini memang yang terbaik untuk kita. Tidak ada yang salah di antara kita. Aku mengerti bagaimana perasaanmu waktu itu. Kamu sudah memilih jalan yang benar dengan menunjukkan baktimu kepada orang tuamu”
“Dengan jalan menyiksa diriku sendiri karena menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku cintai?”, potong Rina cepat.
“Kenapa waktu itu kamu tidak mencegahku, Ka? Kenapa kamu waktu itu diam saja dan membiarkanku dimiliki orang lain?”

Wanita yang pernah pergi dari kehidupannya itu kembali pulang. Menawarkan cinta yang ternyata tidak pernah hilang.
***
Masa lalu terkadang memang seperti bumerang. Ia melesat pergi, lalu kembali.

Love is faith and destiny. Itu lah mengapa kita tidak bisa meminta Tuhan untuk dijatuh-cintakan kepada siapa.

What does love mean? It means, you’re happy to see someone you love happy. Biarkan kita belajar bahwa cinta adalah ikhlas melepas demi kebahagiaan orang yang kita cintai.

Jalan kita awalnya memang berbeda. Walau beriringan, kita tidak pernah berputar dalam orbit yang sama. Tapi aku tahu, Tuhan tidak akan mempertemukan kita dengan seseorang tanpa ada suatu rencana di baliknya. Rencana yang indah dan terbaik dari kaca mata-Nya tentu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar