Sabtu, 06 Oktober 2012

Cerita dari Sebuah Folder

-->
Huaaa…. *teriak sambil guling-guling*. Cokop! (baca:cukup). Mari disudahi saja segala jenis lebay abad ini -_-. Mm…apa ya… Yang jelas saat ini saya merasa lelah sekali. Rasanya seperti tubuh saya cadangan glukosanya sudah menipis. Dan meski sudah diisi ulang rasanya tetap saja cepat hilang hasil dari isi ulang tersebut. Sepertinya glukagon dalam tubuh saya sedang malas merombak glikogen jadi glukosa #mongopo -_-. Well, dapat diprediksi kalau malamnya saya hanya belajar sedikit dan langsung tepar -_-. Hm… galau sekali ya kelihatannya. Ya memang saya sedang galau. Saya galau karena bingung juga galau karena apa (Nah lo… :o). Galau karena seragam saya yang di tempat laundry tertukar sama orang lain? *hhehe. Ini sangat amat tidak profesional. Bisa-bisanya baju saya dikasih ke orang lain. Yok po seh? Salahe dewe males nyuci baju sendiri. Lha tenaga saya sudah terkuras, jadi ya daripada saya tepar lagi mending saya menyenangkan tukang laundry. *alasan.. :p. Baiklah, saya lanjutkan dulu cerita kali ini. Kasihan juga blog ini kalau terus saya buat menganggur.

                5 bulan itu waktu yang lama apa sedikit ya? Jawabannya pasti relatif, tiap orang bisa berbeda jawabannya. Umur saya di sini masih tersisa kurang lebih 5 bulan. Sebenarnya sudah ingat dari kemarin-kemarin jika masa belajar kami memang hanya tersisa sebegitu cepat itu. Tapi agak “shock” juga kalau ada orang yang mengingatkan (Loh.. :o). Tetap dihadapkan pada pertanyaan yang sama, “Hey…where will you go after this?”. Itu sebenarnya sudah saya pikirkan sejak dulu kala. Dilema seperti saya pasti bukan saya saja yang merasakan. Hampir semua siswa kelas 3 SMA merasakan hal yang sama. Tentang saya, saya sepertinya saya pernah bercerita apa yang saya inginkan kelak. Selalu terharu dan berkaca-kaca jika saya menyelaminya lebih dalam. Dokter. Lupa bagaimana awalnya dan siapa yang telah memasukkan impian itu dalam hidup saya. Yang jelas itu adalah cita-cita saya sejak kecil, sejak saya bisa bicara. Bagi sebagian orang yang mendengar alasan-alasan saya mungkin menganggap itu semua omong kosong dan munafik sekali. Tapi itu memang benar-benar impian saya. Semoga tidak ada keinginan hati ini untuk membelokkannya.
Ada sebuah folder dalam laptop saya yang berisi foto-foto mahasiswa kedokteran dan fakultas kedokteran. Saya ambil dari mbah google dan sebagian dari teman facebook dan twitter atau jejaring sosial lain (kebanyakan akun sih) yang mahasiswa kedokteran. Oya, saya juga punya mars-mars dan hymnenya fakultas kedokteran sebuah universitas. Norak banget ya sampai segitunya pengen jadi dokter. Tiap ada kesempatan saya lihat-lihat itu foto-foto. Foldernya saya beri nama “ dreams..future of me. I wanna like this so much”. Pengen nangis kalau lihat-lihat semua foto itu. Membayangkan saya yang berada dalam potret itu. Ospek, foto-foto nggak jelas di depan gedung fakultas, kegiatan maba, pakai jas laboratorium, mengerjakan praktikum biokimia, pakai jas almamater, dan terjun langsung ke masyarakat. Apalagi sewaktu saya berkunjung ke rumah saudara dan melihat foto waktu pelantikan dokter, andai yang berdiri di foto itu adalah saya dengan diapit ayah dan ibu saya.
Bagaimana rasanya tidak bisa berbuat apa-apa di saat kita sangat ingin melakukan sesuatu untuk orang lain?  Bagi saya, berdasar apa yang telah saya lalui selama ini, bahagia itu adalah ketika melihat orang lain bahagia, apalagi jika kita yang membuat mereka dapat tertawa. Tertawa sendiri itu rasanya hambar. Benar juga kata Andrea Hirata, “ Tertawalah, seluruh dunia akan tertawa bersamamu. Jangan bersedih, karena kau hanya akan bersedih sendirian”. Saya lebih suka tertawa bareng. Saya lebih suka bahagia bersama mereka yang jarang sekali tertawa. Itu adalah salah satu alasan yang mendorong saya mengapa saya ingin sekali menikmati peran itu. Banyak orang berpikir dokter hanya untuk mereka yang berduit dan sanggup membayar. Alangkah sempitnya pemikiran seperti itu. Seorang dokter pasti kaya, tinggal sentuh pasien sedikit dapat duit. Banyak juga orang-orang di sekitar saya mengatakan itu. Menurut saya untuk menjadi seorang dokter tidak harus kaya, apalagi memaksakan diri menjadi kaya dengan mengejar “balik modal” selama kuliah kedokteran yang dengar-dengar memakan biaya tidak sedikit. Namun dalam praktiknya memang masih ada yang seperti itu. Menurut saya lagi, bukan seorang pasien yang seharusnya menemui dokter, tapi dokter lah yang seharusnya menemui mereka yang membutuhkannya. Indonesia masih sangat belum maksimal dalam pelayanan kesehatan. Daerah kota saja masih banyak yang kekurangan dokter, apalagi mereka yang jarang diperhatikan di pinggir sana. Impian aneh saya adalah bisa bersama mereka yang hampir terlupakan. Berbagi sedikit senyum untuk mereka. Dan ibu saya sepertinya belum pernah 100% setuju dengan impian saya ini. Namanya juga orang tua, orang tua mana yang ingin anak perempuannya hidup sendiri jauh dari mereka dengan pekerjaan yang tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan untuk hidup anaknya. Dalam hal ini mungkin orientasinya adalah materi. Tapi maaf ibu, saya sangat percaya Allah sudah menggariskan segala sesuatunya untuk saya sesuai ukurannya :).
Saya tahu diri dan sadar diri, saya memang bukan termasuk siswi jenius yang dengan mudah bisa memimpikan menjadi dokter dan meraihnya dengan mudah. Bahkan sampai sekarang saya tidak pernah sanggup untuk mengatakan secara langsung kepada orang lain bahwa saya ingin menjalani peran tersebut. Kecuali kepada orang tua saya, dan alhamdulillah mereka merestui, tentu setelah mengetahui apa saja konsekuensinya dan pertimbangan yang cukup berat, tinggal saya saja yang harus berusaha. Saya sangat sadar untuk menyisipkan nama saya sebagai salah satu mahasiswi kedokteran butuh perjuangan yang tidak mudah. Ranking di kelas saja masih low rank. *hhehe. Jika ada teman yang ditanya ingin seperti siapa di kelas ini, saya tidak mungkin menjadi salah satu nama yang disebut *hhehe. Namun saya bersyukur diberi kelas yang luar biasa dan teman-teman yang super. Si matematika, si fisika, si kimia, si biologi, dan banyak lagi. Sehingga saya akan terus berusaha berlari bersama mereka. Melesat. I’m just ordinary. Bukan sebuah pesimisme, hanya sebuah refleksi diri saja. Dari refleksi itu saya mempunyai pegangan, Allah tidak pernah salah mengarahkan hambaNya jalan. Suatu saat nanti, apa pun jalan yang Dia arahkan untuk saya, saya bisa menerimanya dengan ikhlas. Untuk menolong mereka yang membutuhkan tidak harus menjadi dokter kan? J *kata-kata film banget… hhehe. Saya mengatakan itu tanpa mengurangi api semangat untuk menjalani peran tersebut. Dan jika seseorang bertanya kepada saya, “mbak, mengapa memilih fakultas/jurusan ini?”, saya bisa mengatakan, "Karena Allah yang telah memilihkannya  untuk saya. Dan saya percaya ini yang terbaik untuk saya menurutNya. Tugas saya adalah meniti dengan baik jalan yang telah diberiNya. Dan tak lupa bersyukur untuk menambah nikmatNya”.Semoga saya tidak lupa.
                                                                                                               

-Kediri, 6 Oktober 2012, In the middle of the night –

1 komentar:

  1. Iva... terharu deh, baca post mu ini... bagian "pengen jadi siapa di kelas" aku malah pengen kayak kamu, jadi calon dokter (amiin...) yang tulisannya keren, ikhlas mengabdi dan... apa ya... banyak lah pokoknya.
    Iva, tetep berusaha dan berdoa ya atas impianmu yang mulia itu, setelah membaca "curcol"mu ini aku berdoa, semoga kamu mendapatkan yang terbaik.. amiinn :D

    BalasHapus