Sabtu, 06 Oktober 2012

Sedikit Cerita Tentang Psikologi Anak dan Perkembangannya

-->
Dapat inspirasi ini tadi malam waktu di kelas LBB, dari tentor kimia saya. Di sela-sela materi Mbak Mirna (nama tentor kimia saya) menyisipkan sedikit cerita motivasi. Ya mungkin mbaknya tahu sebagian dari kita dari tadi volatil alias menguap terus, termasuk saya *hhehe. Waktu Mbak Mirna menghadiri pertemuan di sekolah anaknya yang masih PAUD, beliau mendapat pelajaran yang berharga. Jadi di Jepang ada seorang profesor yang meneliti tentang air. Nah, dalam penelitiannya profesor tersebut menemukan bahwa air yang tenang jika diperdengarkan musik yang keras seperti rock, molekul-molekulnya akan pecah tidak beraturan. Dan hasil yang berbeda ditunjukkan ketika diperdengarkan musik yang lembut seperti musik klasik, molekul-molekulnya membentuk ritme yang indah dan beraturan. Perlakuan terhadap air tersebut diganti dengan memperdengarkan kata-kata negatif kepada air tersebut, dan hasilnya menunjukkan molekul-molekul air tersebut pecah tidak beraturan lagi. Dan ketika profesor tersebut membacakan doa, hasil yang sebaliknya ditunjukkan oleh molekul-molekul tersebut.

                Sekitar 80% tubuh kita terdiri dari air. Jadi kira-kira yang terjadi dalam tubuh manusia kurang lebih seperti molekul-molekul air tersebut. Jika anak sedari kecil sudah dimasuki kata-kata negatif seperti : “jangan!”, “tidak boleh”,”tidak bisa”, dan sederet kata-kata negatif lain maka bisa dibayangkan bahwa molekul-molekul air dalam tubuh si anak akan pecah tidak beraturan. Namun menurut saya pribadi itu tidak terjadi pada anak saja, karena dari kecil sampai tua, bahkan ketika meninggal struktur penyusun tubuh manusia juga masih terdapat air. Jadi tidak peduli anak saja, jika kita membisikkan kata-kata negatif tentu akan berdampak pada keyakinan kita untuk dapat melakukan sesuatu. Kita sebagai orang tua (Eh, kita? Lo aja kali, gue belum. :p) terkadang hanya menyisihkan waktu, bukan memberi waktu untuk anak. Jika mereka merasa kesal karena tidak dapat melakukan sesuatu lalu mereka menangis, siapa yang kesal? Tentu orang tua, dan biasanya akan muncul kalimat-kalimat negatif untuk si anak. Padahal bisa saja kita mencari apa penyebab si anak kesal. Begitu pula ketika seorang anak mencoba menalar sesuatu seperti menyusun gelas berisi air di ruang tamu, tentu orang tua akan berpikir anak tersebut membuat isi rumah kotor dan becek. Padahal di balik itu dia sedang belajar menalar ukuran, misalnya gelas berisi air paling banyak untuk ayahnya, lebih sedikit untuk ibunya, lebih sedikit lagi untuk dirinya.
                Dan ini adalah kisah lain dari penanaman orang tua terhadap anak. Ada seorang siswi SMP yang akan mengikuti ujian nasional, dia bukan termasuk anak yang tidak pintar, dia sudah berusaha dengan kemampuannya sendiri. Saat ujian dengan mata pelajaran matematika ternyata dia tidak bisa mengerjakan dengan baik. Waktu sudah hampir habis dan kertas jawabannya masih banyak yang belum terisi. Banyak teman yang menawarkan bantuan dengan memberikan jawaban kepadanya. Namun semua bantuan ditolak dengan lembut. Keluar dari ruangan ujian dia malah merasa amat lega meski tidak berhasil menyelesaikan ujian hari itu dengan baik. Dia merasa lega karena merasa telah melakukan sesuatu yang benar dengan tidak menerima bantuan teman-temannya saat ujian. Waktu pengumuman ujian tiba, hampir semua mata pelajaran dia mendapat nilai bagus kecuali satu, matematika. Karena satu itulah dia harus menerima ketidaklulusannya. Menakjubkannya, dia sama sekali tidak minder atau merasa bersedih dan menyesal. Dia tetap datang ke sekolah dan memberi ucapan selamat kepada teman-temannya yang lulus dengan tulus. Bahkan banyak temannya yang menangis melihat dia masih berani datang dan mengucap selamat kepada mereka. Orang tuanya juga tidak menyalahkan dia atas ketidaklulusannya kali itu, sebab dalam keluarganya sudah ditanamkan nilai kejujuran sejak dini. Karena tidak lulus, otomatis dia akan pindah sekolah. Sewaktu berpamitan dengan kepala sekolah, kepala sekolah berkata kepada ayah dan ibu anak tersebut, “Tolong jaga malaikat kecil saya”. Wew… so sweet.. *mongopo se -_-. Ehm… sebuah kisah yang inspirasional, kalau saya yang menjadi anak tersebut belum tentu saya sekuat dia mempertahakan idealismenya. Mungkin saya akan terima saja bantuan teman-teman saya karena ini menyangkut lulus tidaknya saya, sebagian masa depan saya *hhehe.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar