Sabtu, 09 Februari 2013

Tetap Semangat Walau Usia Senja

Begitulah Pujiono, seorang kakek yang sangat tegar menghadapi kerasnya hidup. Meski ombak kehidupan menerjang ia tak akan menyerah. Ia tak akan menangis di hadapan manusia. Mungkin hanya kepadaNya-lah ia akan merintih dan meratap. Walau hanya seorang tukang parkir, ia sangat mensyukuri pemberian Tuhan. Sebuah keteladanan hidup yang patut kita renungkan.
Pujiono, sebuah nama yang dimiliki lelaki tua yang sehari-harinya bisa ditemui di Ruko Stadion Brawijaya Kota Kediri. Awalnya target kami bukanlah beliau. Kami ingin mengadakan wawancara dengan penjaga Taman Makam Pahlawan Joyoboyo. Karena tidak bertemu dengan orang yang dimaksud kami menyusuri kembali jalan yang kami lalui tadi. Di depan Ruko Stadion Brawijaya salah satu teman melihat seorang bapak tua yang tengah duduk di depan sebuah Ruko. Lalu kami sepakat untuk sedikit berbincang dengan bapak tersebut.
Lelaki yang beralamatkan di Katang itu sebelumnya adalah seorang petani. Mungkin usianya sudah menginjak kepala tujuh atau mungkin lebih, kami hanya bisa memperkirakan usianya karena ketika kami menanyakan berapa usianya, kakek dari empat cucu itu sudah tidak ingat lagi berapa usianya sekarang. Karena alasan ekonomi sawah yang berperan penting untuk kehidupan keluarga ia jual. Dan sudah tiga tahun terakhir ini menekuni pekerjaan sebagai tukang parkir. Tak hanya memarkir mobil ataupun motor yang dikerjakan, tapi juga menyapu halaman Ruko dikerjakan juga. Menjadikan parkir sebagai pekerjaan satu – satunya tentu sangat berat jika dibayangkan. Dengan penghasilan antara dua puluh ribu sampai dengan dua puluh lima ribu per hari, suami dari Inem itu harus menjadi tulang punggung keluarga. Setiap hari bapak dua anak itu membanting tulang untuk hidup istri dan dua orang cucu yang diasuhnya. Sebenarnya tak hanya dua cucu yang menjadi tanggungannya, dua cucu yang lain dititipkan kepada ketua RT di lingkungannya karena tidak kuat  membiayai. Cucu – cucu tersebut menjadi tanggungannya bersama sang istri karena anak – anaknya sibuk bekerja juga. Yang lebih membuat kami prihatin, ternyata hasil dari menjadi tukang parkir itu tidak tetap. Jika tak ada yang diparkir, lelaki tamatan salah satu SMA Negeri di Pare itu hanya duduk – duduk saja. Kami mengira setiap orang yang memarkir kendaraan pasti membayar biaya parkir. Namun ternyata itu semua terserah si empunya kendaraan. jika diberi ya diterima, tidak diberi pun juga diterima. Dengan ongkos parkir untuk motor lima ratus rupiah dan mobil seribu rupiah, kenyataannya banyak juga yang tidak memberi ongkos kepada pak Pujiono.
         Jarak dari rumah menuju Ruko Stadion Brawijaya kurang lebih ada sekitar lima kilometer. Jarak yang lumayan itu ditempuh menggunakan mikrolet. Dari pukul tujuh pagi sampai dengan pukul enam sore, lelaki yang masih rajin puasa senin kamis itu dengan setia menjaga kendaraan orang – orang yang berkepentingan di Ruko tersebut. Dengan jarak tempuh yang lumayan dan jam kerja yang cukup panjang kakek tersebut mengaku lebih enak jadi tukang parkir daripada petani. Ketika kami bertanya adakah keinginan beliau yang belum tersampaikan, beliau menjawab tidak ada. Mungkin karena tidak terlalu mengerti arah pertanyaan kami. Akhirnya kami berikan contoh, di usia senja seperti ini apa beliau tidak ingin melaksanakan rukun Islam yang ke lima atau mungkin punya keinginan lain. Lelaki asal Gempolan, Gurah itu menjawab sebenarnya ingin tapi keinginan itu agaknya harus dipendam karena masalah biaya.

Bekerja untuk menghidupi keluarga ~ 

   
                      
              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar