Kepada kamu yang kusembunyikan selama ini, sosokmu
masih saja sukar ditangkap oleh neuron-neuron pada retina untuk diproses
melalui nervus optikus.
Hari ini 11 Mei...
Do you still remember?
Baiklah, karena kamu adalah seorang yang cukup
pelupa pada hal-hal sederhana, aku akan mengingatkan. Tepat tujuh tahun yang
lalu kamu bertemu seorang perempuan pendiam. Kali ini, bukan tentang perempuan
pendiam dan laki – laki yang tak peka. Laki – laki tak peka yang bisa – bisanya
tertawa saat jiwaku merintih. Yang terus melangkah saat aku kelelahan dan
tertinggal jauh di belakang. Mungkin laki – laki memang harus lebih merasa.
Sebab perempuan tak bisa dipaksa bersuara.
Setiap kali kalenderku sampai kepada bilangan
sebelas pada bulan kelima, seperti sudah di-setting daerah asosiasi cerebrum
otakku segera mencari rekaman sebuah pertemuan. Menayangkannya dan memaksaku
kembali ke masa itu. Kita bertemu untuk pertama kalinya. Tanpa sengaja. Tanpa
rencana. Dan aku masih mengingatnya. Tak akan pernah lupa. Dan rangkaian
pertemuan – pertemuan tanpa sengaja setelahnya. Kamu tetap saja bukan “dia”
yang ideal bagiku, yang bertakwa di jalan-Nya, atau yang membuatku jatuh hati.
Aku pastikan bukan itu.
Lalu, bagaimana cara-Nya membalikkan rasa yang
katanya tak punya logika?
Sebagian dari kita hanya dipertemukan tanpa pernah
disatukan. Cobalah kita hitung berapa ratus kata “pamit” dan “pergi” terucap
dan terhapus. Cobalah kita hitung berapa ratus kali aku berlari. Dan kemudian
mendapati sosok yang sama berkali – kali. It’s always been you. Entah bagaimana
cara-Nya merawat rasa ini di saat rasa yang lain mati tak terselamatkan.
Aku bukannya tidak mencintaimu. Hanya saja aku
belum siap untuk itu. Karena mengungkapkannya mengandung tanggung jawab yang
sangat besar. Bersamanya ada sebuah janji untuk menjaga, merawat, dan
menumbuhkan orang yang kita cinta menuju derajat kehidupan yang lebih tinggi di
hadapan-Nya.
Entah berapa puluh purnama lagi yang harus dilewati
sendiri demi merayakan cinta dengan cara paling mulia. Kamu yang masih bertahan
dengan ketidakpercayaan pada kemampuan. Masih saja melakukan penghinaan pada
Tuhan. Menghina Tuhan tidak harus dengan membakar kitab-kitabNya. Takut miskin
dan tidak bisa makan termasuk ke dalam penghinaan kepadaNya juga. Dan aku yang
masih saja dalam kebimbangan dengan menakar jeda-aksara di antara kita.
Berdoalah, semoga semesta mempertemukan kita
kembali tanpa sengaja dan tanpa rencana. Untuk kemudian berkata, “Karena untuk
pertarungan kali ini, kami tidak akan berjalan sendiri.”
-Surakarta,
11 Mei 2016-
cheri@mail.postmanllc.net
BalasHapusWow..
BalasHapusSalam.. Tolong mampir ke blogku