#dibuat untuk bersenang – senang dan sedikit melupakan masalah yang menghantam akhir – akhir ini. Terapi menulis, saran dari seorang psikolog untuk mengobati diri sendiri.
Inspired by : My True Story
“Mm, kamu merasa anginnya
berhenti nggak?”, dia bertanya padaku. Aku hanya mengangguk sambil merasakan
suasana yang tiba – tiba tenang, tanpa desau angin.
“Katanya, suasana seperti ini
yang pas banget untuk sholat malam”, dia kembali berkata. Aku melirik jam di
ponsel yang menunjukkan hampir pukul tiga pagi. When I first saw you. Four years ago.
***
Di sebuah warnet, aku sedang
sibuk berselancar di dunia maya mencari bahan untuk tugas sosiologi yang harus
dikumpulkan besok. Parah, masa satu kelas remidi semua. Akhirnya dengan embel –
embel “tugas tambahan” kami semua mendapat tugas mencari foto yang berhubungan
dengan empati, simpati, dan kawan – kawannya itu beserta penjelasannya.
“Lagi cari apa mbak?”, seseorang
tiba – tiba membuka tirai di samping kiriku dan tersenyum. Dia lagi. Sumpah gue kaget! Ini orang sejak kapan
duduk di samping gue?!
***
“Habis ini sih rencana nerusin
kuliah. Setidak - tidaknya sampai S2, itu permintaan ibuku”.
“Terus habis itu?”, aku yang
sedari tadi diam akhirnya membuka suara.
“Cari kerja”.
“Habis itu?”, aku kembali
bertanya.
“Melamar kamu”, dia menjawab
tanpa menoleh kepadaku. Aku hanya tersenyum tipis dan berkata dalam hati. Kamu pikir aku percaya?
***
“Eh, ada yang mau aku katakan
sama kamu. Menurut kamu, harus aku katakan sekarang apa tidak?”
“Ya katakan aja. Kita tidak pernah
tahu apa masih punya kesempatan kedua untuk mengatakannya lagi nanti”, aku
menjawab pertanyaannya tanpa menoleh dari buku yang kubaca.
“Tapi jangan ketawa ya?”
Aku hanya mengangguk dan mulai
mendengarkan apa yang hendak dikatakannya.
“Aku….sayang..kamu”
Dan aku hanya tertawa mendengar
apa yang baru saja dia katakan. Gombal
banget orang ini. Udah berapa cewek ya, yang dapat pernyataan semacam itu. Aku
berkata dalam hati.
“Tapi aku nggak mau pacaran”, aku
menjawab pernyataannya dengan menahan tawa.
“Aku nggak ngajak kamu pacaran.
Cuma pengen bilang itu aja. Saat ini, kamu adalah perempuan yang paling dekat
sama aku”.
***
Dalam kecepatan sedang aku
menaiki sepeda motor, ketika tiba – tiba dari arah samping kanan sebuah sepeda
motor membunyikan klakson untuk mendahuluiku. Pengendara itu tersenyum
kepadaku. Dia lagi.
***
Senin pagi ini aku agak terburu –
buru berangkat ke sekolah. Sampai di sebuah pertigaan, mata ini menangkap
sebuah sosok pengendara sepeda motor. Pengendara itu juga menatapku terkejut. Dia lagi.
***
Siang itu dengan kecepatan penuh
aku mengendarai sepeda motor. Kebiasaan jam karet. Kalau sudah banyak yang
nunggu baru kalang kabut berangkat. Berniat mendahului pengendara di depanku. Lagi – lagi dia. Jangan – jangan dia bukan
orang, tapi, makhluk halus. Kenapa selalu ada orang ini di setiap sudut yang
kulalui -_- .
***
“Eh, rambut kamu kelihatan itu!
Kalau pakai jilbab itu yang bener, ditutupi semua, jangan setengah – setengah”.
Begitu selalu komentarnya jika melihat satu helai saja rambutku keluar dari
jilbab. Lalu dengan malas – malasan aku merapikan helaian yang keluar dan
menjawab dalam hati, Heboh banget sih. Itu
kan, hanya sehelai rambut. Aku juga tidak dengan sengaja mengeluarkannya. Bisa saja
karena tertiup angin atau aktivitasku seharian ini. Banyak kemungkinan. Yang
pasti aku tidak dengan sengaja memperlihatkan rambutku. Dasar heboh.
***
Dulu aku sempat tidak menyangka
ketika orang itu muncul dari bagian depan bus. Malam itu dia berlari dalam
keadaan hujan dan izin dosen untuk meninggalkan kuliah hanya demi mengejar bus
terakhir di Terminal Purabaya. Hanya untuk menemaniku pulang dan melihatku
sampai rumah dengan selamat. Dan di akhir perjalanan, aku yang awalnya sudah
sakit ditambah dengan dia yang sakit juga dan sempat muntah – muntah. Mungkin
masuk angin akibat cuaca Surabaya yang sedang tidak bersahabat. Dasar bodoh. Aku bisa pulang sendiri walau
dalam keadaan sakit. Tidak perlu diantar sampai kamu harus meninggalkan kuliah
segala. Nah, sekarang kamu jadi ikut sakit juga. Begitu pikirku malam itu.
Antara iba dan terharu atas apa yang dilakukannya.
***
Dia yang bukan tipe romantis tiba
– tiba memberi ini kepadaku.
Kepadamu pencuri hatiku
Yang selalu membuatku resah
Resah jika kau menjauh dariku
Resah jika kau tak di sampingku
Resah jika kau menangis
Mungkin aku bukanlah orang yang sempurna bagimu
Dan aku tahu kau terlalu sempurna untukku
Tapi satu harapanku,
Semoga kelak kau bisa melengkapi tulang rusukku
Dan bisa berbagi suka duka bersamaku
Tidak terlalu sempurna untuk
dikatakan sebagai sebuah puisi memang. Tapi aku tahu dia membuat itu dengan
susah payah untuk meyakinkanku. Dan tanpa dia tahu, sampai sekarang aku masih
berkaca - kaca setiap membacanya kembali.
#Masih percaya ungkapan “jodoh
pasti bertemu”. Masih sedikit sakit dan depresi. Namun, tidak se-takut dan
se-kusut biasanya. Is It called “real” breakup? Haruskah mengucapkan selamat
tinggal, sekarang?
Siji-siji ngene suwi" dadi novel pul... :D
BalasHapushahaha. aamiin. ntar Insya Allah sm mbak zuh mau duet bkin novel.
BalasHapusiva, dia itu 'dia' toh?
BalasHapusdia siapa? hehehe
Hapus