-->
Huaaa….
*teriak sambil guling-guling*. Cokop! (baca:cukup). Mari disudahi saja segala
jenis lebay abad ini -_-. Mm…apa ya… Yang jelas saat ini saya merasa lelah
sekali. Rasanya seperti tubuh saya cadangan glukosanya sudah menipis. Dan meski
sudah diisi ulang rasanya tetap saja cepat hilang hasil dari isi ulang
tersebut. Sepertinya glukagon dalam tubuh saya sedang malas merombak glikogen
jadi glukosa #mongopo -_-. Well, dapat diprediksi kalau malamnya saya hanya
belajar sedikit dan langsung tepar -_-. Hm… galau sekali ya kelihatannya. Ya
memang saya sedang galau. Saya galau karena bingung juga galau karena apa (Nah
lo… :o). Galau karena seragam saya yang di tempat laundry tertukar sama orang
lain? *hhehe. Ini sangat amat tidak profesional. Bisa-bisanya baju saya dikasih
ke orang lain. Yok po seh? Salahe dewe males nyuci baju sendiri. Lha tenaga
saya sudah terkuras, jadi ya daripada saya tepar lagi mending saya menyenangkan
tukang laundry. *alasan.. :p. Baiklah, saya lanjutkan dulu cerita kali ini.
Kasihan juga blog ini kalau terus saya buat menganggur.
5 bulan itu waktu yang lama apa
sedikit ya? Jawabannya pasti relatif, tiap orang bisa berbeda jawabannya. Umur
saya di sini masih tersisa kurang lebih 5 bulan. Sebenarnya sudah ingat dari
kemarin-kemarin jika masa belajar kami memang hanya tersisa sebegitu cepat itu.
Tapi agak “shock” juga kalau ada orang yang mengingatkan (Loh.. :o). Tetap
dihadapkan pada pertanyaan yang sama, “Hey…where will you go after this?”. Itu
sebenarnya sudah saya pikirkan sejak dulu kala. Dilema seperti saya pasti bukan
saya saja yang merasakan. Hampir semua siswa kelas 3 SMA merasakan hal yang
sama. Tentang saya, saya sepertinya saya pernah bercerita apa yang saya
inginkan kelak. Selalu terharu dan berkaca-kaca jika saya menyelaminya lebih
dalam. Dokter. Lupa bagaimana awalnya dan siapa yang telah memasukkan impian
itu dalam hidup saya. Yang jelas itu adalah cita-cita saya sejak kecil, sejak
saya bisa bicara. Bagi sebagian orang yang mendengar alasan-alasan saya mungkin
menganggap itu semua omong kosong dan munafik sekali. Tapi itu memang
benar-benar impian saya. Semoga tidak ada keinginan hati ini untuk
membelokkannya.
Ada
sebuah folder dalam laptop saya yang berisi foto-foto mahasiswa kedokteran dan
fakultas kedokteran. Saya ambil dari mbah google dan sebagian dari teman facebook
dan twitter atau jejaring sosial lain (kebanyakan akun sih) yang mahasiswa
kedokteran. Oya, saya juga punya mars-mars dan hymnenya fakultas kedokteran
sebuah universitas. Norak banget ya sampai segitunya pengen jadi dokter. Tiap
ada kesempatan saya lihat-lihat itu foto-foto. Foldernya saya beri nama “
dreams..future of me. I wanna like this so much”. Pengen nangis kalau
lihat-lihat semua foto itu. Membayangkan saya yang berada dalam potret itu.
Ospek, foto-foto nggak jelas di depan gedung fakultas, kegiatan maba, pakai jas
laboratorium, mengerjakan praktikum biokimia, pakai jas almamater, dan terjun
langsung ke masyarakat. Apalagi sewaktu saya berkunjung ke rumah saudara dan
melihat foto waktu pelantikan dokter, andai yang berdiri di foto itu adalah
saya dengan diapit ayah dan ibu saya.
Bagaimana
rasanya tidak bisa berbuat apa-apa di saat kita sangat ingin melakukan sesuatu
untuk orang lain? Bagi saya, berdasar
apa yang telah saya lalui selama ini, bahagia itu adalah ketika melihat orang
lain bahagia, apalagi jika kita yang membuat mereka dapat tertawa. Tertawa
sendiri itu rasanya hambar. Benar juga kata Andrea Hirata, “ Tertawalah, seluruh dunia akan tertawa
bersamamu. Jangan bersedih, karena kau hanya akan bersedih sendirian”.
Saya lebih suka tertawa bareng. Saya lebih suka bahagia bersama mereka yang
jarang sekali tertawa. Itu adalah salah satu alasan yang mendorong saya mengapa
saya ingin sekali menikmati peran itu. Banyak orang berpikir dokter hanya untuk
mereka yang berduit dan sanggup membayar. Alangkah sempitnya pemikiran seperti
itu. Seorang dokter pasti kaya, tinggal sentuh pasien sedikit dapat duit. Banyak
juga orang-orang di sekitar saya mengatakan itu. Menurut saya untuk menjadi
seorang dokter tidak harus kaya, apalagi memaksakan diri menjadi kaya dengan
mengejar “balik modal” selama kuliah kedokteran yang dengar-dengar memakan
biaya tidak sedikit. Namun dalam praktiknya memang masih ada yang seperti itu.
Menurut saya lagi, bukan seorang pasien yang seharusnya menemui dokter, tapi
dokter lah yang seharusnya menemui mereka yang membutuhkannya. Indonesia masih
sangat belum maksimal dalam pelayanan kesehatan. Daerah kota saja masih banyak
yang kekurangan dokter, apalagi mereka yang jarang diperhatikan di pinggir
sana. Impian aneh saya adalah bisa bersama mereka yang hampir terlupakan. Berbagi
sedikit senyum untuk mereka. Dan ibu saya sepertinya belum pernah 100% setuju
dengan impian saya ini. Namanya juga orang tua, orang tua mana yang ingin anak
perempuannya hidup sendiri jauh dari mereka dengan pekerjaan yang tidak
menghasilkan sesuatu yang signifikan untuk hidup anaknya. Dalam hal ini mungkin
orientasinya adalah materi. Tapi maaf ibu, saya sangat percaya Allah sudah menggariskan
segala sesuatunya untuk saya sesuai ukurannya :).
Saya
tahu diri dan sadar diri, saya memang bukan termasuk siswi jenius yang dengan
mudah bisa memimpikan menjadi dokter dan meraihnya dengan mudah. Bahkan sampai
sekarang saya tidak pernah sanggup untuk mengatakan secara langsung kepada
orang lain bahwa saya ingin menjalani peran tersebut. Kecuali kepada orang tua
saya, dan alhamdulillah mereka merestui, tentu setelah mengetahui apa saja
konsekuensinya dan pertimbangan yang cukup berat, tinggal saya saja yang harus
berusaha. Saya sangat sadar untuk menyisipkan nama saya sebagai salah satu
mahasiswi kedokteran butuh perjuangan yang tidak mudah. Ranking di kelas saja
masih low rank. *hhehe. Jika ada teman yang ditanya ingin seperti siapa di
kelas ini, saya tidak mungkin menjadi salah satu nama yang disebut *hhehe. Namun saya bersyukur diberi kelas yang luar biasa dan teman-teman yang super. Si matematika, si fisika, si kimia, si biologi, dan banyak lagi. Sehingga saya akan terus berusaha berlari bersama mereka. Melesat. I’m
just ordinary. Bukan sebuah pesimisme, hanya sebuah refleksi diri saja. Dari
refleksi itu saya mempunyai pegangan, Allah tidak pernah salah mengarahkan
hambaNya jalan. Suatu saat nanti, apa pun jalan yang Dia arahkan untuk saya,
saya bisa menerimanya dengan ikhlas. Untuk menolong mereka yang membutuhkan
tidak harus menjadi dokter kan? J
*kata-kata film banget… hhehe. Saya mengatakan itu tanpa mengurangi api
semangat untuk menjalani peran tersebut. Dan jika seseorang bertanya kepada
saya, “mbak, mengapa memilih fakultas/jurusan ini?”, saya bisa mengatakan, "Karena Allah yang telah memilihkannya untuk
saya. Dan saya percaya ini yang terbaik untuk saya menurutNya. Tugas saya
adalah meniti dengan baik jalan yang telah diberiNya. Dan tak lupa bersyukur
untuk menambah nikmatNya”.Semoga saya tidak
lupa.
-Kediri, 6 Oktober 2012, In the middle of
the night –
Iva... terharu deh, baca post mu ini... bagian "pengen jadi siapa di kelas" aku malah pengen kayak kamu, jadi calon dokter (amiin...) yang tulisannya keren, ikhlas mengabdi dan... apa ya... banyak lah pokoknya.
BalasHapusIva, tetep berusaha dan berdoa ya atas impianmu yang mulia itu, setelah membaca "curcol"mu ini aku berdoa, semoga kamu mendapatkan yang terbaik.. amiinn :D