Sampai saat ini
perasaan bersalah masih menyelimuti saya. Perasaan itu terutama kepada tertuju
kepada Indry. Apalagi setelah mengetahui ternyata kegalauannya beberapa hari
ini adalah tentang itu juga ternyata. Saya memang mudah sekali terbebani dengan
hal yang kadang dianggap orang lain sepele. Saya selalu merasa terbebani ketika
bekerjasama dalam menempuh suatu tujuan. Bukan berarti saya tidak mau membantu,
justru saya sangat senang bila dapat membantu. Konotasi terbebani di sini
maksudnya adalah pikiran saya yang saya tuntut untuk bisa membuat orang
tersebut bahagia, dan (mungkin) berpikir tidak salah untuk mengajak saya
mencapai tujuannya. Entah lah, saya yang aneh dengan mind-set saya atau memang
Allah sengaja telah menciptakan konduktivitas ribuan neuron dalam tubuh saya
mengirim impuls tidak biasa seperti itu melalui dendrit sampai neurit.
Saya sendiri sudah
sangat biasa mengalami kekalahan. Saraf olfaktori saya sudah terbiasa menghirup
aroma serupa. Seperti kata teman saya Ivan bahwa hanya ada dua kemungkinan
ketika kita mengikutsertakan diri dalam event seperti itu, kalah atau menang.
Dan kita harus siap menerimanya, entah tangis kecewa atau bahagia. Sudah pernah
saya katakan bahwa melihat orang lain tertawa itu lebih melegakan daripada
tertawa sendiri. Terlepas dari statusnya sebagai salah satu sahabat saya. Kalau
pun dia baru saja menjadi teman saya, hal yang sama tetap saya lakukan. Saya
mengerti dia kecewa, saya tahu harapannya sangat besar kali ini. Saya tahu dia
beanr-benar ingin berangkat. That’s the last chance for her, for me, for us.
Bahkan sebelumnya saya tidak tega jika melihat semangatnya yang begitu tinggi.
Mengetahui alibi dibalik itu semua semakin membuat dada saya sesak. Percakapan
– percakapan kami sebelumnya masih terekam dalam lokus bank ingatan di cerebrum
saya. Saya sama sekali tidak memikirkan diri saya sendiri. Karena konsep yang
dijelaskan Ivan itu saya sudah mengerti dari dulu. Ditambah saya sudah
berkali-kali mengecapnya dalam berbagai kesempatan.
Jika berniat mencari
kesalahan, mungkin lebih tepat jika saya yang dijadikan terdakwa. Seharusnya
hari ini kami berangkat…
Seandainya saya bisa
mengulang kembali kesempatan itu…. Seandainya… seandainya…. Pasti….
Ahh.. seharusnya
saya ingat, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
melarang kita mengucapkan “Seandainya demikian maka
demikian” karena ucapan itu akan membuka celah munculnya tidak mau
menerima kenyataan. Oleh karenanya Nabi memerintahkan kita untuk berkata, “QaddarAllohu wa maa syaa’a fa’ala”.
Biarlah terjadi karena memang itulah yang sudah ditakdirkan Alloh. Tiada
gunanya mengeluh dan berandai-andai.
Tapi tetap saja saya
ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada salah satu suara yang sudah
familiar menggetarkan membran timpani saya, yang sosoknya selalu saya temukan menembus
retina, merangsang saraf opticus dan diinterpretasikan di lobus occipital saya
itu.
"It may be that you dislike a thing which is good for you and that you like a thing which is bad for you. Allah knows but you do not know." Qur'an 2:216
BalasHapusI always remember this ayat. Melegakanku. Just like mas Muhammad Assad said :D
Yah, sebenarnya sama kayak aku yang kehilangan kesempatan buat pergi ke __ waktu olimpiade dulu... Tapi, tetep semangat yah!!!
BalasHapus